MPH PGI Layangkan Surat Kepada Gubernur DI Yogyakarta dan Kapolri Terkait Penyerangan di Sleman
Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH
PGI) melayangkan surat kepada Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan
Hamengkubuwono X dan Kapolri Jenderal (Pol.) Sutarman, terkait
penyerangan di Sleman (29/5), yang dilakukan sekelompok orang terhadap
warga yang sedang melakukan ibadah di rumah. Akibatnya, selain merusak
rumah, beberapa orang mengalami luka-luka.
Dalam suratnya kepada Sri Sultan, PGI mengharapkan agar Sri Sultan,
sebagai pemimpin kultural dan struktural di D.I. Yogyakarta, dapat
mengambil tindakan tegas melalui penegakkan dan tindakan hukum bagi para
pelaku tindak intoleransi dan kekerasan tersebut, yang tentunya akan
menumbuhkan rasa aman dan nyaman di dalam masyarakat.
“PGI menghargai kepemimpinan Sri Sultan yang selama ini menjadikan
D.I. Yogyakarta sebagai kota dan daerah yang menghargai multikultural
dan pluralisme serta mengedepankan toleransi,” demikian surat yang
dtandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dan Sekretaris
Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, MTh.
Tindakan intoleransi tersebut mencederai komitmen bersama untuk
membangun masyarakat yang multikultur, menghargai pluralisme dan
mengedepankan toleransi. Sementara kepada Jenderal (Pol) Sutarman, selain memprotes keras, PGI
juga menyatakan tidak dapat menerima pernyataan bahwa ibadah tersebut
ilegal sebagaimana pernah disebutkan oleh pihak Kepolisian.
“Kami memahami bahwa dalam negara RI, beribadah merupakan hak yang
hakiki, yang tidak dapat dibatasi tetapi justru dijamin oleh konstitusi.
Bahwa untuk mendirikan rumah ibadah dibutuhkan pengaturan oleh negara
melalui produk-produk hukum, memang nyata ditunjukkan dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. Namun,
Peraturan Bersama tersebut tidak ada melarang atau membatasi orang untuk
beribadah,” tegas PGI.
Sebaliknya, Perber tersebut mengamanatkan jika kebutuhan nyata umat
untuk beribadah belum dapat terpenuhi dengan pemberian IMB Rumah Ibadah,
maka adalah tugas pemerintah untuk memfasilitasi umat tersebut
beribadah. Dengan demikian, mestinya orang bebas melaksanakan ibadahnya
di mana pun sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum.
“Dalam kaitan itu, kami menuntut pihak Kepolisian untuk melakukan
penegakkan hukum mengusut tuntas dan menangkap kelompok yang menyerang
dan melakukan penganiayaan tersebut, serta memberikan perlindungan yang
diperlukan oleh umat Kristen yang hendak beribadah. Kami juga menuntut
Kapolri untuk memberikan pernyataan yang menyejukkan umat dan tidak
malah menimbulkan masalah baru, dengan menempatkan kecenderungan
mengkriminalisasikan para korban penganiayaan, apalagi dengan
menyebutkan rumah tidak boleh dijadikan tempat beribadah,” demikian isi
surat yang dilayangkan pada 4 Juni lalu.
Penulis: Markus Saragih